Mulai dari orang yang satu kemudian berkumpul menjadi orang yang banyak atau bisa disebut kawulowarga, keluarga. Berawal dari diri (wargo) menuju kulowargo (luar diri terdekat), dan menggandeng kulowargo-kulowargo yang lebih luas. Terus bertambah hingga menjadi kumpulan kawulowarga. Secara lebih luas dapat digambarkan sebagai sebuah kerajaan di mana masing-masing saling mengerti ikatannya karena mempunyai galih yang sama. Kerajaan di sini mungkin bisa jadi ejawantah dari bebrayan agung dengan prinsipnya yakni memayu hayuning diri, memayu hayuning sasomo, memayu hayuning bawono.
Dalam sebuah lingkup wilayah kerajaan ada wilayah yang dibebaskan dari segala macam pajak, karena di daerah tersebut ada salah satu warga/tokoh yang dianggap mampu untuk ngemong kulowargo wilayah tersebut. Biasanya adalah para satrio pilih tanding atau resi dan wilayahnya bernama daerah Perdikan. Dalam bermaiyah kerap kali dianjurkan supaya kita terus-menerus berupaya menjadi Manusia. “Menjadi…., pasangan kata yang paling tepat adalah manusia”.
Ketika kita berperan baik sebagai presiden, menteri, lurah, petani, dsb adalah salah satu upaya justru untuk menjadi manusia. Jangan malah salah ketika kita berperan menjadi sesuatu tersebut di atas, justru lupa akan kemanusiaan, lupa bahwa kita adalah manusia. Maiyah merupakan sekumpulan Manusia yang terhimpun menjadi Jam’iyah dengan konsep yang disepakati adalah berupaya membangun Segi Tiga Cinta. Maka kesadaran yang mesti terus dibangun adalah kesadaran sebagai Manusia dengan rujukannya adalah Manusia Agung, junjungan kita Kanjeng Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Sehingga fondasi yang terbangun bahwa: sebagai manusia, sebagai ciptaan, sebagai mahkluk hendaknya menyembah Sang Pencipta, menyembah kepada Sang Khalik, Sang Malik.
Dalam Al-Qur`an ada sebuah surat tentang Manusia (An-Naas: 114). Penyebutan diri sebagai manusia di Jawa adalah ‘kawula’ atau abdi. Mengabdi kepada raja Maha Raja Yang Maha Agung tiada tanding dan banding (Allah Al Malik, Malikinnas, Ilahinnas, Maliki yaumiddiin). Bersama sama di sini kita berusaha mengerti diri untuk pandai rukuk, sujud kepada Sesembahan, Robb semesta alam, Penguasa segala kekuasaan. Gusti kang akaryo jagad, ALLAH SWT.
Dari yang terurai di atas, sangatlah wajar jika kerajaan tempo dulu paham kapan harus berdiri dan kapan harus ditiadakan/dihancurkan sendiri. Siapa yang layak dijadikan pemimpin, beserta penentuan-penentuan konsekuensi sosial atas kesalahan di lingkup kerajaan. Dari dasar itu ternyata leluhur kita dalam membangun kerajaan pun tidak main-main apalagi asal-asalan. Karena acuan utama dan latar belakangnya adalah pengolahan diri sebagai manusia yang “manembah”.
Kerajaan dengan asumsi kesadaran kita sebagai an-naas sebagai Mahkluk Semesta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar