Dalam proses perjalanan sejarah mahluk hidup di dunia ini, ada saja yang tertinggal, entah itu terekam oleh sejarah oleh jejak peradaban atau oleh keadaan. Sehingga tak salah jika para bijak merangkumnya dengan pribahasa “gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama”. Dengan masing-masing nama yang menempel pada diri kita, yang sebenarnya hanya mewakili dari seluruh eksistensi organ tubuh dengan segala perangkatnya.
Sesuatu yang terserak dari peristiwa drama kehidupan secara alamiah akan melalui seleksi alam melalui bukti perjalanan kehidupam dengan segala pernak-perniknya. Sementara dalam era kekinian bukti lebih dimaknai dengan sesuatu yang materil sebagai satu-satunya petunjuk akan keberadaan “si peninggal bukti” tanpa memahami ada bakti dibalik bukti. Jutaan bukti peninggalan dari generasi sebelum kita baik yang berupa ke-ngeri-an, ke-ngilu-an, heroik atau pun suasana suka dari sisi kondisi geografis dan peristiwa yang menimbulkan berbagai respect bagi generasi sesudahnya.
Begitulah karakter dunia dengan segala isinya, bukti pun mengenal kebaikan keburukan sebagai penentu bagi “si peninggal bukti” dalam istilah Jawa bila baik disebut DHARMA dan bila buruk disebutnya KARMA, sekaligus masa validitas sesuai kualitas bakti masing-masing. Disinilah kita akan mengenal akan makna bakti yang tercipta dengan adanya bukti-bukti peristiwa dan maslahat (kebaikan) bagi generasi sesudahnya, sehingga masa validitas masa waktu dari bukti adanya “ke-BHAKTI-an” yang muncul dari rentang waktu dan radius penerus “BUKTI”, sehingga akan muncul bukti-bukti baru bagi generasi berikutnya yang bermentalkan membuktikan bakti.
Tentunya bagi mereka generasi yang bermental ingin meneruskan ke-OTENTIK-an BUKTI sebagai bakti dengan membuktikan akan sesuatu yang sudah terbukti. Tapi bukti sendiri entah sejak zaman kapan mulai tersentuh kapitalis akhirat hanya untuk membuktikan baktinya, kadang bukti dengan sendirinya oleh marketing nafsu dengan segala bentuknya dengan dalih sebagai bentuk peninggalan atau hanya kenang-kenangan bagi generasi berikutnya terciptalah model pembuktian dengan membangun segala fasilitas umum entah rumah ibadah, tempat pendidikan, dan yang lainya plus embel-embel tanda tangan, nama terang hingga detail digit waktunya. Dari yang semula membangun monumen sebagai bukti atau penghormatan atau mengenang peristiwa sebagai pengingat peristiwa atau tokoh sejarah.
Secara pandangan umum manusia adalah makhluk yang segala sesuatu butuh bukti, untuk membuktikan akan jenjang pendidikan, strata sosial, titel keagamaan serta lainya hanya untuk menunjukan tapi lupa akan spirit “bukti butuh bakti dan bakti butuh bukti” memang sulit untuk memilih dan memilah membuat patokan, tapi bukan berarti rumit. Untuk analisa sederhana dengan metode pendekatan kultur.
Secara kultural bukti difahami melalui kabaikan-kebaikan yang dirasakan oleh sesama dan yang merasakan mampu “meng-UP GRADE” kebaikan bakti oleh sesama dan yang merasakan mampu untuk melakukan estafet bakti tersebut. Karena hanya spirit bakti yang mampu menjadi bukti si peninggal bukti, sebagai bentuk jawaban rasional untuk kita jadikan bukti otentik akan sepersekian dari bukti-bukti yang lain.
Buktikan bakti! Sehingga bukti-bukti tersebut akan membuktikan dengan sendirinya sesuai dengan ketulusan dan kejujuran bakti. Timbul pertanyaan mendasar dari lorong masa lalu dan yang ada didepan kita, sudah membuktikan apa? Sehingga pantas berbangga diri mengaku punya bukti. Sejauh mana bukti bakti kita dikenang dan akan dilanjutkan pengambil bakti. Ternyata hidup tak sekedar bakti dan bikti, tapi lebih banyak kata tanya sebelum membuktikan dan membaktikan. Atau justru keberadaan kita hanya sekedar bagian dari bukti itu sendiri.
Menggelikan bukan?
Wonosobo, 06 Januari 2018
Gus Jailani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar