Sungguh telah diakui, bahwa ASI (Air Susu Ibu) memiliki kandungan nutrisi yang paling kompatibel dengan kebutuhan tumbuh kembang bayi. Bahkan nash Al-Qur`an pun eksplisit memberikan tuntunan bagi ibu untuk menyusui bayinya hingga usia 2 tahun. Kita juga mendapati fakta historis bahwa bayi Muhammad dipersusukan kepada seorang wanita pegunungan demi mendapatkan kualitas ASI yang mumpuni. Hal demikian tentu mempertegas betapa penting dan baiknya ASI bagi bayi. Di jaman modern ini, juga tak sedikit para ibu yang berkarir di luar rumah memilih tetap memberikan ASI kepada bayinya, meskipun mereka harus mengeluarkan energi ekstra: memeras dan menyimpan ASI dalam botol-botol kaca dengan jumlah tertentu, untuk kemudian diminumkan pada si bayi ketika sang ibu bekerja. Sementara itu, tak sedikit pula yang memilih jalan lain. Modernisme, dengan kecanggihan teknologinya, menyediakan susu formula. Tak perlu waktu lama, tinggal masak air, seduh, susu instan pun siap disajikan.
Bagi Sampeyan yang doyan ngopi, ceritanya pun serupa. Tak perlu lagi Sampeyan repot-repot menyangrai biji kopi, menumbuknya menjadi bubuk kopi, menyeduhnya dengan takaran sesuai selera, baru menikmatinya. Sungguh itu memerlukan waktu yang lama. Telah tersedia bagi kita kopi instan yang di dalamnya sudah terkandung gula, beserta aneka perasa. Tinggal sobek bungkusnya, masak air, seduh, lalu sruput di manapun dan kapanpun yang Sampeyan suka. Daftar makanan dan minuman jenis instan ini akan bisa sangat panjang deretannya, jika Sampeyan berkenan untuk meneruskannya.
Tak dapat dipungkiri, hasil olah akal sepanjang perjalanan kebudayaan manusia, telah melahirkan beragam kemudahan bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan/keinginannya. Arus besar industrialisasi berjalin kelindan dengan penemuan-penemuan teknologi, kian membawa manusia pada capaian hebat: menaklukkan waktu. Dua idiom menjadi penandanya, yakni efektif dan efisien. Sebuah proses produksi dinilai lebih baik, ketika secara durasi waktu ia berlangsung lebih cepat. Efisiensi waktu menjadi satu determinan yang signifikansinya tak mudah ditawar.
Atmosfer efisiensi bersanding dengan hawa kompetisi, kemudian menyeruak menelusup ke sudut-sudut kehidupan. Norma “lebih cepat lebih baik”, secara massif hinggap di benak manusia, dan lalu mengendap menjadi nilai yang menyelimuti kesadaran. Tiap tindak-tanduk kemudian ditakar dengan ukuran seberapa cepat ia tercapai dibandingkan yang lain.
Jika dulu kita mulai belajar membaca-menulis-berhitung di sekolah dasar, maka kini jamak dijumpai orang tua yang menggegas anaknya untuk menguasai calistung sedini mungkin. Rasa minder dan rendah diri bakal menghampiri, ketika anak kalah lancar dalam membaca, kalah cermat dalam berhitung, dibandingkan teman sebayanya. Maka perlu ditempuh upaya yang (lagi-lagi) efektif dan efisien untuk mengejar ketertinggalan. Nilai buruk saat ujian sungguh menjadi momok yang menakutkan. Maka, segala cara harus dilakukan demi menyelamatkan muka. Pilihan untuk mengambil jalan pintas, cara cepat, meski harus curang, pun tersedia.
Demikianlah, sadar atau tidak, tuntutan efektif dan efisien mengepung kehidupan kita dari segala penjuru. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, kita dituntut beraktifitas secara efektif dan efisien. Tak heran jika kedua prinsip tersebut terpantul jelas dalam perilaku kita. Cara kita melihat, berbicara, mendengar, berpikir, bergerak, termasuk cara kita berbudaya, sedikit demi sedikit menjauh dari yang namanya “menikmati proses” dan “mengutamakan proses daripada hasil“.
Dulur, mari lanjutkan perabaan atas gejala instan yang muncul dalam khazanah kebudayaan kita. Dengan pandangan yang mencakrawala, bisakah kita berlapang pikir untuk juga menginventarisasi faedah positif dari yang serba instan itu? Dengan ketajaman daya analisis, dapatkah kita menguliti lapis demi lapis gelagat sosial ini? Kemudian kita aju-sandingkan dengan mandat bahwa sebagai insan, kita perlu dan harus berbudaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar