Ibrahim kecil bertanya pada Azar bapaknya, “Pak, asalku dari mana?”
“Dari bapak ibumu.”
“Terus bapak Ibu dari mana?”
“Dari kakek nenekmu.”
“Kakek nenek dari mana?”
“Dari bapak ibunya kakek dan nenek toh Bram.”
Terus sampai ujung pertanyaan yang sebenarnya Ibrahim simpan.
“Lantas yang melahirkan atau menciptakan manusia pertama siapa pak?”
Azar pun terdiam. Ibrahim belum puas dengan jawaban ayahnya.
Tak ada asap jika tak ada api, tak ada makanan jika tak ada koki, tak ada meubel jika tak ada pengrajin kayu. Tak ada manusia, jika tak ada Penciptanya. Kegelisahan pertanyaan itulah yang selalu Ibrahim bawa. Kegelisahan hukum kausalitas/sebab akibat. Hingga akhirnya ia bertanya pada bintang, rembulan dan matahari. Dan semuanya pun juga diam dan akhirnya tenggelam. Hingga Satu suara terdengar oleh indera keenam Ibrahim, “Aku di sini. Hadapkanlah wajahmu ke segala arah, di situlah akan kau dapati Aku pencipta Langit dan bumi.”
Jika setiap kejadian menganut hukum kausalitas, lantas apa penyebab yang membuat Sang Pencipta berkeinginan untuk menciptakan Ibrahim atau kita sebagai manusia pelanjut generasinya yang numpang ngombe dan numpang nongkrong di bumi ini? Apakah karena Beliau sendirian terus kesepian? Ataukah karena Beliau ingin melihat drama permainan yang dibuat-Nya sendiri?
Ataukah karena cinta sang pencipta kepada ciptaan-Nya sendiri? Karena bukankah setiap karya atau artefak budaya lahir dari proses kreatif pembuatnya yang dimotivasi oleh rasa suka atau cinta? Ataukah karena si ciptaan pernah berjasa pada-Nya, sedangkan ciptaan sendiri sebelum diciptakan tak pernah punya saham apapun terhadap Sang Pencipta? Bahkan pada kenyataannya ia tak pernah ada jika tak diizinkan untuk diadakan. Hingga sangat tak masuk akal jika setelah diadakan ia menagih sesuatu kepada pihak yang secara total meminjami segala modal yang dibutuhkan untuk ia bisa hidup dan menjalani kehidupan.
Berangkat dari kesadaran bahwa kita tak pernah ada jika tidak diadakan inilah, setiap tarikan nafas, menyandarnya badan dan melangkahnya kaki adalah wujud pelunasan utang pada-Nya. Yang sampai akhir hayat pun tidak akan pernah bisa kita lunasi. Karena bagaimana akan melunasi, jika seluruh alat pelunasannya pun berasal dari-Nya juga. Namun itu harus tetap kita lakukan. Mau tidak mau, suka tidak suka. Jika tak ingin justru ditagih oleh-Nya dalam waktu yang mendadak dan tak diduga-duga.
Bagusnya memang setiap insan melihat bahwa jasadiah tubuhnya adalah satu-satunya aset yang ia bisa gunakan untuk melunasi utangnya. Karena memang pelunasan kepada Tuhan dengan harta yang notabene adalah sesuatu di luar diri, sesuatu yang terpisah dengan diri. Akan memiliki bobot balasan yang berbeda-beda di mata Tuhan antara seribu rupiah orang miskin yang jangankan untuk membiayai hidup orang lain, untuk membiayai hidupnya sendiri kerepotan. Biaya yang ia dapatkan dengan mandi keringat dengan sedekah satu juta seorang bos besar yang hanya ia peroleh dengan satu tanda tangan kuitansi penjualan. (Yasin FR)
Syahadat adalah persembahan niat, sholat adalah persembahan waktu, puasa adalah persembahan jasad, zakat adalah persembahan harta dan haji adalah persembahan keseluruhannya. –Sabrang MDP.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar