Kerajaan Amarta tengah menghadapi gebalau ancaman. Para putra Pandhudewanata kelimpungan. Di saat itu, diam-diam, Arjuna menemui Ki Lurah Semar di desa Karangbuyutan. Desa yang letaknya sangat jauh dan tidak terdeteksi oleh GPS, Google Map, apalagi naik Gojek, Grab, dan lain sebagainya. Nggak bakalan sampai.
Alhasil, Arjuna jalan kaki, menempuh perjalanan beratus-ratus kilometer. Bahkan mungkin ribuan kilometer. Sesekali berlari kencang. Sesekali meloncat-loncat, dari satu bukit ke bukit lain.
Singkat cerita, sampailah ia di desa Karangbuyutan. Ia langsung menuju kediaman Semar. Di hadapan Semar, Arjuna menyampaikan keluh kesahnya. Bahwa, kerajaan Amarta akhir-akhir ini diambang kehancuran. Rakyatnya sudah pada sembrono. Alamnya juga sudah mulai banyak protes. Banjir, lindu, longsor, angin puyuh, lesus, dan sebagainya. Semua itu disampaikan dengan runtut.
Mendengar itu, Ki Lurah Semar tak langsung menjawab. Ia memilih menyeruput kopi terlebih dahulu. Lalu, tak lupa nglinting mbako-nya hasil racikan anak mbarep-nya, Gareng. Baru setelah ia menyulut udud lintingan itu, ia angkat bicara. Singkat saja, “O… gitu ya?”
Setelah itu, Semar kembali diam dalam waktu yang cukup lama.
Arjuna masih cukup sabar. Ia menunggu kata-kata Ki Lurah Semar. Tetapi, tak satupun kata muncul dari mulut Ki Lurah Semar. Saking sabarnya, Arjuna pun tak segan-segan mengulang pertanyaannya, “Pripun, Wo Semar? Barangkali ada nasihat kepada kami?”
Semar masih saja diam. Bahkan, malah tidur dalam keadaan duduk.
Sebagai seorang ksatria, Arjuna jelas tahu tata krama. Orang yang tidur tak boleh diganggu gugat. Apalagi orang itu adalah orang yang dibutuhkannya. Maka, ia pun menunggu Semar bangun dari tidurnya.
Lama Semar tak bangun-bangun. Sampai-sampai hari sudah berganti. Dan ketika bangun, di hari ketiga sejak ia tertidur, Semar juga tak berkata apa-apa. Baru ketika ia melihat ada Arjuna di sampingnya, tatapannya tampak berbinar. Tetapi, ketika ditanya lagi, ia tidur lagi.
“Ah, mungkin ini ujian buat orang sabar sepertiku,” batin Arjuna. “Ya sudah, aku akan menunggu lagi. Mau sampai kapan pun aku sanggupi.”
Tetapi, hasilnya tetap saja nihil. Habislah sudah stok sabar yang disimpan Arjuna dalam gudang kesabarannya. Ia putuskan pulang ke Amarta. Tanpa hasil apa-apa.
Di tengah perjalanan pulang, ia bertemu Krisna. Dari atas awan, Krisna yang sedang menikmati penerbangannya itu menyaksikan Arjuna yang sedang berjalan di atas tanah. Karena penasaran, ia pun melakukan pendaratan darurat di tengah hutan, tepat di hadapan Arjuna. Persis!
“Loh Jun! Saka ngendi?” sapa Krisna.
“Nganu, Pakdhe, saya baru saja menemui Wo Semar,” jawab Arjuna.
“Lho Semar? Ngapa nyang Semar? Arep ngajokne proposal?” goda Krisna.
Arjuna yang sedang kehabisan stok sabarnya itu agak mangkel dengan gurauan Krisna. “Mbok jangan gitu to, Pakdhe. Saya ini sedang kesel. Prihatin dan gundah gulana,” seloroh Arjuna.
“Weeeelah! Gene kok malah baper ki loh?!” sahut Krisna. “Mbok jangan baper gitu ah! Lulusan Ph.D Drona University kok baper. Kene-kene… cerita karo Pakdhe. Apa kudu pangku Pakdhe?”
“Ceritanya panjang Pakdhe. Jadi, mending saya singkat saja, nggih?”
Singkat cerita, Arjuna pulang ke Amarta dengan menunggang Krisna Airlines nomor penerbangan 911. Landing di bandara Jatayu yang letaknya tak jauh dari istana. Dan entahlah, di istana ada pembicaraan apa, menjadi tak penting dalam cerita ini.
Kita beralih saja ke kediaman Ki Lurah Semar.
Ki Lurah Semar bangun dari tidur panjangnya. Lalu duduk di atas dipan. Ia tampak murung. Yang ada dalam pikirannya hanya gambaran mengenaskan keadaan Amarta. Batinnya nelangsa. Prihatin. Dalam nada bicara yang datar, lirih ia berkata, “Ngamarta… Ngamarta. Makin hari makin memrihatinkan. Nyaris tak ada harapan. Makin redup cahayamu, Ngamarta. Rakyatmu sudah kehilangan tata krama. Pejabatmu makin rakus. Sementara para brahmana sudah kehilangan kewibawaannya. Para Resi, Guru, dan semuanya yang mestinya dihormati sudah mencoreng muka sendiri. Para hakim meludahi hukum. Ah, sebegitu parahnya nasibmu Ngamarta. Pantas saja kalau alam pun memprotesmu. Tetapi, apakah aku juga harus ikut protes?”
Lama Ki Lurah Semar berpikir. Sampai akhirnya cerita ini pun diakhiri. Karena memang, durasinya juga dibatasi. Ya sudah, mari kita pikirkan, kira-kira apa yang mestinya dilakukan oleh Semar dan juga Gareng, Petruk, dan Bagong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar